Jumat, 31 Oktober 2014

sekularisasi ilmu pengetahuan dalam filsafat Ilmu



Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi mengenai: SEKULARISASI ILMU PENGETAHUAN
A. Latar Belakang
Manusia di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya. Inilah menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini. Manusia mempunyai ciri istimewa, pada setiap diri manusia terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan  secara kreatif.
Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya.
Manusia telah melalui perjalanan panjang dalam pencari hakikat dan makna hidupnya. Pengalaman demi penglaman telah mereka lalui, akhirnya manusia sampai kepada puncak kemajuan melalui pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi.. Ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala aspek kehidupan dan mendesak spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang sangat sempit”
Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi.  Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar  sejak abad ke 19.
Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat rasionalisme, empirisme dan  materialistisme, yang melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat di atas, maka penulis akan mengemukakan beberpa permaslahan pokok yang berkaitan dengan materi makalah ini, sebagai berikut :
1. Bagaimana tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana  tinjauan epistemologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana tinjauan aksiologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?

PEMBAHASAN
A. Tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Istilah Sekularisasi berakar dari kata sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.
Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan  di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir.
Sekularisasi berasal dari dunia Barat Kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan dalam  wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.
Untuk lebih jauh mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya sekularisasi, maka kita akan memulai  melihat sejarah perkembangan filsafat Barat anatara abad peretengahan sampai pada abad modern, di mana pada awal abad pertengahan ini, disebut sebagai “abad gelap”. Pendapat ini didasarkan pada pendekatan sejarah gereja. Pada  masa ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia kedalam kehidupan/system kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
Pada abad  pertengahan ini tindakan  gereja sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat itu tidak memiliki kebebasan berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat hukuman berat.  Pihak geraja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama/teologi yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan larangan yang ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja.
Filsafat abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari kata Schuler yang berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang mempuyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama.
Pada akhir abad pertengahan sebelum masuknya abad modern  muncullah gerakan  yang dalam sejarah filsafat  disebut Renaissance. Kata renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahun.
Ciri utama renaissance ialah humanisme, individualism, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalime. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada zaman renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan dengan  jelas  kelak pada zaman modern
Filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan renaissance didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting, Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua,  semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan renaissance itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma geraja. Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas intelektual (sikap ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap. tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu
Dengan terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya.

B. Tinjauan epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang independen dan objektif.  Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.
Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan ontologis,  manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari  karena inilah yang memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama.
Lebih jauh lagi  Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam proses penduniawian  terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu , telah tercakup pula sikap yang objektif dalam menelaah  hukum-hukm yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan yang  jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan   yaitu :
1         Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
2         Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak  boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
d.  Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan
Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu  ciri dari sekularisasi  ialah upaya untuk mencari cara yang secara teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat doktriner  dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang kehidupan.
Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam  kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi  hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukm ukhrawi.
Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu  bukan ciptaan manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut.
Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan agama  pada waktu itu menyebutkan matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak kemanapun arahnya.

C. Tinjauan aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, sehingga setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika.
Sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat. Gambaran di atas adalah bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya sekularisasi ilmu pengetahuan.
Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia merupakan pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan nilai kenisbian).
Retasan-retasan faham atau pandangan di atas setidaknya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya telah keluar dari radius jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus mengerdilkan peran agama dengan cara menjauhi atau melepaskannya.
Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar, mengatakan bahwa semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat dalam. Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan serta perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata lain daipada itu.
Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-masing kapling bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun menurut Abdurrahman Mas’ud, yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi diri ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana mendaptkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi resource alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana mengeksploitasi jasad manusia.
Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan terpenjara oleh layar. Kebenaran yang disuguhkan oleh layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh subjektifitas seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena proses produksi yang tidak sempurna atau cenderung manipulatif.
Menurut Mahdi Ghulsyani, dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrubkepada Allah. Pertama,dia dapat meningkatkan pengetahuannya kepada Allah. Kedua,dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga,dia dapat membimbing orang lain. Keempat,dia dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.

KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah  diuraikan dalam pembahasan, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
a.       Secara ontologi sekularisasi ilmu pengetahuan memiliki arti suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap tindakan  gereja yang sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.
b.      Dari segi epistemologi, sekularisasi ilmu pengetahuan terjadi berada pada tataran atau ranah rasionalisme dan empirisme, di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkdan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan  iman sebagai penilai.
c.       Dalam pandangan aksiologi,  sekularisasi ilmu pengetahuan telah melahirkan terjadinya pergeseran nilai yakni dalam hal terlepasnya dimensi moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yakni untuk kesejahteraan manusia.

SEKULARISASI ILMU PENGETAHUAN

Secara bahasa istilah sekularisme berasal dari kata saeculum yang memiliki dua dimensi, yang pertama adalah dimensi ruang dengan pengertian di sini dan yang kedua adalah dimensi waktu dengan pengertian saat ini. Sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang didasari akan pandangan di sini dan saat ini.
Secara makna sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri, rasional dan irrasional. Sekularisme menjadi paham yang melihat sebuah realitas secara parsial dan menafikan segala sesuatu yang tidak bisa diterima secara rasional dan logis.
Sekularisme berkembang dari aliran filsafat Yunani yang diawali oleh pemikiran salah satu filsuf Yunani, Aristoteles. Aristoteles mempunyai pemikiran bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta tidak lagi mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam perputaran alam semeseta ini. Konsepsi Tuhan dalam pemikiran Aristoteles terpisah jauh dari realitas alam semesta sehingga memunculkan pandangan akan ketidak absolutan Tuhan. Pandangan ini akan menafikan realitas kekuasaan Tuhan dalam kehidupan alam semesta, khususnya manusia dan menyebabkan lahirnya pandangan pemisahan antara kekuasaan Tuhan dan kehidupan manusia.
Sekularisme juga dapat dilihat dari berkembangnya aliran pemikiran rasionalisme yang menafikan sesuatu yang diluar pemahaman akal. Dalam pandangan rasionalisme, segala sesuatu yang diluar pemahaman akal manusia dinyatakan bukan sebagai sesuatu realitas dan diyakini ketiadaannya. Pandangan ini menilai sesuatu yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat dicerna melalui indera manusia yaitu dapat dilihat, didengar, diraba, dibaui, dan dirasakan. Apabila dalam proses penginderaan sesuatu tidak dapat ditangkap realitasnya maka konsepsi akan hal tersebut adalah tidak nyata atau tiada. Beranjak dari pemahaman di atas maka pandangan hidup yang terbentuk dalam peradaban Yunani Kuno adalah pandangan hidup yang materialistik yang melihat bahwa realitas dunia adalah materi dan menolak immateri dalam konteks pemahaman oleh akal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditelusuri jejaknya dari peradaban besar yang terus hadir dalam peredaran dunia ini dengan silih berganti. Peradaban Yunani-Romawi, Peradaban Islam dan masa Renaissance. Penulis berpendapat salah satu faktor dalam perkembangan peradaban tersebut adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai trigger utama. Peradaban Yunani-Rumawi sebagai salah satu bangsa pionir dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentu mempunyai andil dalam menyebarkan pemahaman yang materialistik dan rasionalistik.
Perkembangan peradaban Islam juga disinyalir mendapatkan pengaruh dari filsafat dan pemikiran Yunani-Romawi yang diterjemahkan oleh cendekiawan muslim ke dalam bahasa Arab. Tokoh utama dalam penerjemahan tersebut adalah Ibnu Rusyd atau di Barat disebut Averroes. Ibnu Rusyd menerjemahkan karya Plato dan Aristoteles, dan setelahnya dunia Islam melakukan aktivitas dalam dunia intelektual dengan kecepatan yang mengagumkan.
Dan adanya hubungan antara peradaban Islam dengan masa Renaissance di Barat juga diawali oleh adanya interaksi antara dunia Islam dengan dunia Barat. Diawali oleh perang Salib, interaksi sosial-budaya dan terjadinya transfer ilmu pengetahuan melalui penerjemahan karya-karya intelektual muslim oleh orang-orang Eropa, salah satu tokohnya adalah Edward dari Cremona. Kemudian muncullah budaya intelektual di Eropa abad pertengahan dengan Italia sebagai pusatnya. Tetapi ada satu hal yang berbeda dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa masuknya filsafat ke dalam peradaban Islam. Intelektual muslim mencoba merespon masuknya filsafat dengan melakukan proses penyaringan,penyeleksian dan pemilihan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

A. Latar Belakang
Ada suatu ungkapan yang sangat populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah kepada Allah". Berdasar ungkapan inilah, menurut sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) dapat dipahami hanya jika diketahui dengan baik kondisi historis ketika itu. Pada saat ungkapan itu dikemukakan oleh Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, satu-satunya cara seorang tokoh agama adalah berkiprah pada tataran spiritual  keagamaan dan tidak pada politik. Jadi ungkapan dalam Injil tersebut sesungguhnya bertujuan mengendalikan kekuasaan spiritual.

Kenyataan yang terjadi di dunia Barat khususnya dalam hal pemisahan ilmu pengetahuan dari doktrin gereja menyebabkan ilmu pengetahuan berdiri sendiri tanpa kontrol agama dan nilai-nilai spiritual. Hal tersebut terus berlanjut hingga abad modern kini.
Mellenium III merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang yang disebut abad modern. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yng secara teoritis telah ada sebelum abad modern demikian pula penemuan-penemuan baru (discovery) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi canggih bermunculan dari waktu ke waktu.
Penemuan-penemuan tersebut sangat bermanfaat bagi umat manusia sebagai kontribusi dalam upaya memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yang menjadi sentral pembahasan khususnya bagi pemikir-pemikir Islam adalah Islamisasi ilmu pengetahuan.
Sains dan filsafat sudah dikenal sejak awal perkembangan Islam yang memungkinkan arus intelektual di kalangan orang-orang Islam untuk menanggapi pemikir Yunani. Akibat rangsangan itu ternyata mereka lebih kreatif, sehingga  mendorong perkembangan di Eropa. Namun dalam perkembangannya sains dan filsafat mengalami kemunduran di tangan umat Islam.
Sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan masih dalam suasana polemik para ahli. Hal ini disebabkan satu sisi ingin memproduksi ilmu pengetahuan yang obyektif dengan pendekatan santifik sementara di sisi lain kecenderungan ilmuwan muslim agar ilmu pengetahuan lahir dari Islam berdasarkan al-Qur'an dan Hadits, dengan pendekatan teologi normatif (keagamaan).

B. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Secara ontologis, sekularisasi ilmu pengetahuan berarti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang berbau mitos dan bernuangsa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud. Karena alam adalah benda mati yang netral. Tujuannya sangat ditentukan oleh manusia. Pandangan ini menyebabkan manusia dengan segala daya yang dimiliki mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.
Sebuah disiplin ilmu juga hendak dipertahankan keobjektifan tujuan maka segala yang terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif dihindari guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yang independen, otonom dan objektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yang digunakan yakni rasionalisme dan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). Sebagai konsekuensi dari epistemologi sekuler maka pada tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai.

C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با طلا
Artinya:
"Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia"
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya mengkaji ayat-ayat al-Qur'an karena sebagian ayat al-Qur'an memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Bahkan ayat yang pertama turun berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5).
Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat dengan nilai-nilai moral (moral value) dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai melainkan dalam ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran Islam yang mengkristal pada akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana terkemuka yang sangat memperhatikan masalah islamisasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya Jihad Intelektual.  Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang sifatnya  dualisme (sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua sistem ini harus digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang akan muncul harus diwarnai dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari idiologi.
Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna mengcounter pengaruh-pengaruh sekularisasi Barat yang bebas nilai.

D. Penutup
Sekularisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Barat yang ditandai dengan adanya pemisahan antara doktrin gereja yang selama ini menguasai ilmu pengetahuan lalu kemudian ilmu pegetahuan itu berdiri sendiri dan bebas dari keterikatan nilai atau norma-norma agama.
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu dan sekaligus merupakan counter terhadap sains modern yang berkembang tanpa menghiraukan nilai-nilai moral yang luhur (bebas nilai) ke arah suatu peradaban dan ilmu pengetahuan yang sarat nilai berdasarkan ajaran Islam (al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW).

SEKULARISASI ILMU PENGETAHUAN
Istilah Sekularisasi berakar dari kata Sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.
Sekularisasi berasal dari dunia barat kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Pada saat ia datang dengan membawa pemikiran menentang akal dan rasio dengan mempertahankan kebekuannya melawan ilmu dan kebebasan, tampil dengan menghadapi kemajuan. Sikap keras para aktifis gereja dalam menentang para ahli pikir (ilmuan) yang menorehkan hasil penelitian ilmiyah dan nalarnya karena dinilai bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Hingga gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran atau keluar dari agama. Kepicikan berpikir gereja terhadap orang-orang yang mengemukakan teori atau pandangan keilmuan yang bertentangan dengan ajarannya ternyata melahirkan bentuk kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuan dan membakarnya, yang hidup pun tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga para ahli pikir menuntut dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan pemerintahan agar terindar dari beragamnya penyiksaan tersebut. Dengan terlepasnya dari para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Sebagaimana ungkapan Isa al Masih dalam Injil : sebagian untuk Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan dalam kitab tetap ditempatkan sebagai kebutuhan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang mengatakan manusia itu sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan menghendaki supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang diciptaka-Nya, sehingga dapat memperoleh pengetahuan.
Ilmu Itu Obyektif atau Tidak
Ilmu itu oyektif atu subyektif tergantung dri segi mana kita memandanganya, satu ilmu dipandang subyektif apabila subyek lebih aktif  berperan dalam segala hal dan kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya, sehingga  maknanya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan  penelitian, tanpa mempertimbangkan  apakah ini bersifat piskis atu fisis, atau dengan kata lain ilmu dianggap subyektif apabila hanya memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan , intelektualitas, dan hasilnya  akan mengarah pada suka tau tidak suka dari seorang  manusia. Ilmu dianggap objektif jika ia tidak tergantung pada subyek aatu kesdaran yang menilai,adapun yang menjadi tolak ukurnya ialah  sutu gagasan berada pada objeknya atau Sesuatu secara riil benar-benar ada dan tidak tergantung pada individu melainkan pada fakta-fakta  yang ada.
Ilmu itu bebas nilai atau tidak
Ilmu itu bebas nilai karena dilihat dari dua aspek yaitu Etika teologis dan Ontologis berdasarkan dua aspek ini ilmu dapat dikatakan bebas nilai kerena kegiatan ilmiah dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang agama etnis ideology dan bahasa, namun ada juga yang mengatakan ilmu itu tidak bebas nilai dengan anggapan bahwa ilmu terikat oleh nilai-nilai seperti agama misalnya sehingga membuat ilmu itu berada dalam lingkup baik buruk dari satu agama itu
Ilmu juga dalam menetapkan menetapkan yang praktis harus tunduk pada nilai-nilai yang bersifat universal yang sudah menjdi kebenaran jadi tak mungkin ilmu itu tidak bebas nilai. Dalam hal ini ilmu harus menjdi nilai yang relevan dan nilai-nilai hidup harus diaplikasikan oleh bagian-bagian praktis jika peraktiknya mengandung tujuan yg rasional
Ilmu dalam kehidupan modern
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong semakin cepatnya arus modernisasi di segala bidang sekarang ini yang membuat manusia mulai berhitung dan berusaha membagi waktu secara akurat, efisien, cepat, tepat apa yang harus dilkukan. Dalam kehidupan modern juga ilmu pengetahun mudah untuk diakses dan kita bebas mengeksplor apa yang ada pada diri kita namun. Situasi dan kondisi yang serba instan ini membuat manusia berada dalam kesadaran palsu  karena satu sisi manusia menikmati kemajuan pengetahuan yang berupa semkin majunya teknologi sehingga manusia memperoleh kemudahan dalam berbagi hal namun di sisi lain manusia secara tidak langsung telah dibodohi dan membuat manusia malas dalam berfikir
KERANGKA BERFIKIR ILMU-ILMU ALAM


Ilmu alam atau ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dan dimana pun. Istilah ilmu alam juga digunakan sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah dan juga dsebut sebagi ilmu pasti
Yang  menjadi ruang lingkup pembahasan ilmu alam adalah segala aspek-aspek fisik dan non manusia tentang bumi dan alam sekitarnya. Ilmu alam juga merupakan landasan bagi terciptanya ilmu-ilmu seperti ilmu social, humaniora, teologi, seni dan sebagainya. Dan yang menjadi sumber ilmu alam ialah: Alam semesta, Tata surya, Benda-benda langit, Benda-benda bumi, Mahluk hidup, dan Mahluk mati. Selain itu, ada beberapa kerangka berfikir ilmu-ilmu alam, diantaranya yaitu: Pengamatan berulang, Menggunakan metode deduktif, Alam dan hukum-hukumya berlaku secara umum tidak berubah meskipun untuk yang kecil-kecil (ilmu pasti), Sebagian merupakan bagian dari keseluruhan hukum untuk tetap berlaku, dan Perkembagan intelektual menjadi sebab perubahan social
Dalam penelitian ilmu alam, metode yang dipakai dalam penelitian ini biasanya menggunakan metode deduktif yaitu dengan cara observasi, eksprimen, laboratorium, explorasi dan yang tak  kalah penting adalah penafsiran terhadap terhadap alam  dan juga biasanya menggunakan data kuantitaif.
            Selanjutnya yang menjadi karakteristik ilmu alam yaitu: Sistematis, Logis, Empiris, Reduktif (memilih satu permasalahan ), Replicable (dapat diulangi oleh orang lain utuk mengecek kebenaran), dan Trausitable (mampu memecahkan berbagai permaslahan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar