Tinjauan
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi mengenai: SEKULARISASI ILMU PENGETAHUAN
A.
Latar Belakang
Manusia di dalam menjalani
kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya. Inilah
menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia
menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini. Manusia mempunyai ciri
istimewa, pada setiap diri manusia terdapat potensi-potensi untuk bisa
dikembangkan secara kreatif.
Manusia mampu menalar,
artinya berpikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar dan
mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, maka manusia bukan
saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya.
Manusia telah melalui
perjalanan panjang dalam pencari hakikat dan makna hidupnya. Pengalaman demi
penglaman telah mereka lalui, akhirnya manusia sampai kepada puncak kemajuan
melalui pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi.. Ilmu pengetahuan dan
teknologi ini mendominasi segala aspek kehidupan dan mendesak spritualitas
sampai terpojok pada “lorong yang sangat sempit”
Salah satu penyebab utama
merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah karena agama
dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan
fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden bahwa banyak ilmuan sosial
Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses
modernisasi. Agama bagi mereka adalah
suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat
kemajuan. Anggapan ini telah berakar
sejak abad ke 19.
Perkembangan ilmu
pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak terhadap kehidupan manusia
dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban
manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan
nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas
filsafat rasionalisme, empirisme dan
materialistisme, yang melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari
nilai-nilai spiritual.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian singkat di atas,
maka penulis akan mengemukakan beberpa permaslahan pokok yang berkaitan dengan
materi makalah ini, sebagai berikut :
1. Bagaimana tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
1. Bagaimana tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana tinjauan epistemologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana tinjauan
aksiologi mengenai sekularisasi ilmu
pengetahuan?
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Istilah Sekularisasi berakar
dari kata sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum artinya abad ( age,
century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan
kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak
bersifat spiritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan
yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Yusuf Qardhawi dalam
bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi
Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la
Diniyyah atau Dunnaawiyah yang
bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia
Makna Sekularisasi itu
sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawian
atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.
Adapula yang
mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor
kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi lembaga-lembaga
dan simbol-simbol keagamaan.
Dari berbagai pengertian
yang dikemukakan di atas menunjukkan
bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan /
pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir.
Sekularisasi berasal dari
dunia Barat Kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas
agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada
awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal
menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi
Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan dalam wilayah imperiumnya serta mendorong
penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna
Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya,
serta ilmu pengetahuan.
Untuk lebih jauh mengetahui
sejarah muncul dan berkembangnya sekularisasi, maka kita akan memulai melihat sejarah perkembangan filsafat Barat
anatara abad peretengahan sampai pada abad modern, di mana pada awal abad
pertengahan ini, disebut sebagai “abad gelap”. Pendapat ini didasarkan pada
pendekatan sejarah gereja. Pada masa ini
juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring
manusia kedalam kehidupan/system kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan
menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu
pengetahuan terhambat.
Pada abad pertengahan ini tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia,
sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang
terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat itu tidak memiliki kebebasan
berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran
gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat hukuman berat. Pihak geraja melarang diadakannya
penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian
terhadap agama/teologi yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan
larangan yang ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama
hanyalah pihak gereja.
Filsafat abad pertengahan
ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari kata Schuler yang berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik
menjadi istilah bagi filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang
mempuyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama.
Pada akhir abad pertengahan
sebelum masuknya abad modern muncullah
gerakan yang dalam sejarah filsafat disebut Renaissance.
Kata renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaissance adalah suatu gerakan yang
meliputi zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali. Di dalam
kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi
pengetahun.
Ciri utama renaissance ialah humanisme, individualism,
lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalime.
Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang.
Filsafat berkembang bukan pada zaman renaissance
itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang
karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan,
ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan dengan jelas
kelak pada zaman modern
Filsafat modern yang
kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan renaissance
didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting, Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua,
semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan
renaissance itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern
berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma geraja.
Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin dipercepatnya
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran filsafat dan
ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas intelektual (sikap
ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan
pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap.
tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu
Dengan terlepasnya para ahli
pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini
pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan
kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Artinya
masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan
dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja
berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar
keduanya.
B.
Tinjauan epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Secara formal epistemologi
sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Di mana
memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara
rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi
sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus
mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan
menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup,
tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan
sebagai suatu yang independen dan objektif.
Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat
realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan dengan empiris memandang
ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan
empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini
tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral
dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan
segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan
manusia semata.
Apabila dilihat dari realita
bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan ontologis, manusia berpendapat bahwa terdapat
hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai
gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia
mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan
manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari
pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu
pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang
berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa
masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat
dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya
hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal
ini harus kita sadari karena inilah yang
memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama.
Lebih jauh lagi Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam
proses penduniawian terjadi pemberian
perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini.
Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu , telah tercakup pula sikap
yang objektif dalam menelaah hukum-hukm
yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan yang jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna
memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya.
Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Suatu faham atau aliran
terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi.
Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu :
1
Prinsip-prinsip esensial
dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
2
Etika dan moralitas
didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika,
segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang
bersifat vaiditas.
c. Masih mengakui agama pada
batas tertentu dengan ketentuan agama tidak
boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
d. Menekankan perlunya toleransi semua golongan
masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
e. Menjunjung tinggi
penggunaan rasio dan kecerdasan
Satu hal yang serta
kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu ciri dari sekularisasi ialah upaya untuk mencari cara yang secara
teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi.
Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi
tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi
ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada
keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat
doktriner dan hasil yang hampir pasti
serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani yantg
inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh tindakan
membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa.
Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh
supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang
kehidupan.
Satu hal yang perlu
diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu konsep Islam
tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang
cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan apologetis. Keterangan
tentang hari agama dalam kitab suci,
kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di
Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari
agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak
berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan
Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada
waktu itu tidak berlaku lagi hukum-hukum
sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukm ukhrawi.
Sebaliknya, pada hari dunia
yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum
yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Memang hukum-hukum itu bukan ciptaan manusia
sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu tidak
diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang harus
berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan
kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur
perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut.
Oleh karena itu terdapat
konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme, sebab inti
sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan
rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu
itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Masalah nilai dalam
perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus pada abad ke-16
yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan agama pada waktu itu menyebutkan matahari yang
mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin mempelajari
alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu harus
didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang
keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil
memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi
untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis,
karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab moral.
Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak kemanapun
arahnya.
C. Tinjauan aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan
sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau
keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia
tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara
komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi
milik bersama, sehingga setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut
kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras,
ideologi, atau agama.
Perkembangan ilmu pengetahuan
melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan
lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia,
namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak
sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan
eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai
spiritual, moral, dan etika.
Sebagai proses mendunianya
kehidupan manusia, globalisasi mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya
yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya
transformasi peradaban dunia dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang
dahsyat, yang menciptkan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.
Gambaran di atas adalah bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan
oleh adanya sekularisasi ilmu pengetahuan.
Sebagai akibat dari
moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern atau
masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu
anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia
merupakan pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan
untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau
antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang menekankan
rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi),
materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan nilai
kenisbian).
Retasan-retasan faham atau
pandangan di atas setidaknya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh semangat
sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi ilmu pengetahuan
dengan sendirinya telah keluar dari radius jangkau definisi ilmu induknya dan
sekaligus mengerdilkan peran agama dengan cara menjauhi atau melepaskannya.
Proses sekularisasi terus
berlanjut sejalan dengan perkembangan industrialisasi yang cepat, disebabkan
oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin yang
meluas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana
dan Amsar Bakhtiar, mengatakan bahwa semua agama di zaman modern sedang
mengalami suatu krisis yang amat dalam. Setiap orang di zaman ini yang melihat
dan mengamati kehidupan serta perkembangan agama dengan bermacam-macam
alirannya, kesangsiannya dan pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak
dapat dengan jujur berkata lain daipada itu.
Selanjutnya juga terjadi
pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu sosial bahkan
terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-masing kapling bersikukuh
dengan keangkuhannya masing-masing. Namun menurut Abdurrahman Mas’ud, yang
menjadi persoalan sebenarnya bukan pada keterpisahan dari berbagai disiplin,
karena hal ini merupakan konsekuensi diri ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan
terletak pada terlepasnya dimensi moral dan ide moral atau fungsi yang paling
hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu
ekonomi menekankan bagaimana mendaptkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan,
ilmu politik mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di
bidang teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi resource alam dan manusia, dan di bidang
kedokteran menekankan bagaimana mengeksploitasi jasad manusia.
Setelah ditemukan kemajuan
teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa disadari teknologi itupun
memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak berkurang dengan kemajuan
teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks inilah manusia perlu
disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus sadar bahwa teknologi
bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu
dalam beberapa kesempatan perlu membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar
mereka tidak tergantung dan terpenjara oleh layar. Kebenaran yang disuguhkan
oleh layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh subjektifitas
seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena proses
produksi yang tidak sempurna atau cenderung manipulatif.
Menurut Mahdi Ghulsyani,
dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrubkepada Allah. Pertama,dia dapat meningkatkan
pengetahuannya kepada Allah. Kedua,dia
dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan
tujuan-tujuannya. Ketiga,dia dapat
membimbing orang lain. Keempat,dia
dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika
dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika
empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa
dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.
KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan yang telah
diuraikan dalam pembahasan, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
a. Secara ontologi sekularisasi ilmu
pengetahuan memiliki arti suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap
pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Sekularisasi lahir dari pemberontakan
ahli pikir terhadap tindakan gereja yang
sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan
untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.
b. Dari segi epistemologi, sekularisasi ilmu
pengetahuan terjadi berada pada tataran atau ranah rasionalisme dan empirisme,
di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkdan pengamatan empiris dan menelaah
secara rasio bukan keyakinan iman
sebagai penilai.
c. Dalam pandangan aksiologi, sekularisasi ilmu pengetahuan telah
melahirkan terjadinya pergeseran nilai yakni dalam hal terlepasnya dimensi
moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yakni
untuk kesejahteraan manusia.
SEKULARISASI ILMU
PENGETAHUAN
Secara bahasa istilah sekularisme berasal dari kata saeculum yang memiliki dua dimensi, yang pertama adalah dimensi ruang dengan pengertian di sini dan yang kedua adalah dimensi waktu dengan pengertian saat ini. Sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang didasari akan pandangan di sini dan saat ini.
Secara makna sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri, rasional dan irrasional. Sekularisme menjadi paham yang melihat sebuah realitas secara parsial dan menafikan segala sesuatu yang tidak bisa diterima secara rasional dan logis.
Sekularisme berkembang dari aliran filsafat Yunani yang diawali oleh pemikiran salah satu filsuf Yunani, Aristoteles. Aristoteles mempunyai pemikiran bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta tidak lagi mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam perputaran alam semeseta ini. Konsepsi Tuhan dalam pemikiran Aristoteles terpisah jauh dari realitas alam semesta sehingga memunculkan pandangan akan ketidak absolutan Tuhan. Pandangan ini akan menafikan realitas kekuasaan Tuhan dalam kehidupan alam semesta, khususnya manusia dan menyebabkan lahirnya pandangan pemisahan antara kekuasaan Tuhan dan kehidupan manusia.
Sekularisme juga dapat dilihat dari berkembangnya aliran pemikiran rasionalisme yang menafikan sesuatu yang diluar pemahaman akal. Dalam pandangan rasionalisme, segala sesuatu yang diluar pemahaman akal manusia dinyatakan bukan sebagai sesuatu realitas dan diyakini ketiadaannya. Pandangan ini menilai sesuatu yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat dicerna melalui indera manusia yaitu dapat dilihat, didengar, diraba, dibaui, dan dirasakan. Apabila dalam proses penginderaan sesuatu tidak dapat ditangkap realitasnya maka konsepsi akan hal tersebut adalah tidak nyata atau tiada. Beranjak dari pemahaman di atas maka pandangan hidup yang terbentuk dalam peradaban Yunani Kuno adalah pandangan hidup yang materialistik yang melihat bahwa realitas dunia adalah materi dan menolak immateri dalam konteks pemahaman oleh akal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditelusuri jejaknya dari peradaban besar yang terus hadir dalam peredaran dunia ini dengan silih berganti. Peradaban Yunani-Romawi, Peradaban Islam dan masa Renaissance. Penulis berpendapat salah satu faktor dalam perkembangan peradaban tersebut adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai trigger utama. Peradaban Yunani-Rumawi sebagai salah satu bangsa pionir dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentu mempunyai andil dalam menyebarkan pemahaman yang materialistik dan rasionalistik.
Perkembangan peradaban Islam juga disinyalir mendapatkan pengaruh dari filsafat dan pemikiran Yunani-Romawi yang diterjemahkan oleh cendekiawan muslim ke dalam bahasa Arab. Tokoh utama dalam penerjemahan tersebut adalah Ibnu Rusyd atau di Barat disebut Averroes. Ibnu Rusyd menerjemahkan karya Plato dan Aristoteles, dan setelahnya dunia Islam melakukan aktivitas dalam dunia intelektual dengan kecepatan yang mengagumkan.
Dan adanya hubungan antara peradaban Islam dengan masa Renaissance di Barat juga diawali oleh adanya interaksi antara dunia Islam dengan dunia Barat. Diawali oleh perang Salib, interaksi sosial-budaya dan terjadinya transfer ilmu pengetahuan melalui penerjemahan karya-karya intelektual muslim oleh orang-orang Eropa, salah satu tokohnya adalah Edward dari Cremona. Kemudian muncullah budaya intelektual di Eropa abad pertengahan dengan Italia sebagai pusatnya. Tetapi ada satu hal yang berbeda dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa masuknya filsafat ke dalam peradaban Islam. Intelektual muslim mencoba merespon masuknya filsafat dengan melakukan proses penyaringan,penyeleksian dan pemilihan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Secara bahasa istilah sekularisme berasal dari kata saeculum yang memiliki dua dimensi, yang pertama adalah dimensi ruang dengan pengertian di sini dan yang kedua adalah dimensi waktu dengan pengertian saat ini. Sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang didasari akan pandangan di sini dan saat ini.
Secara makna sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri, rasional dan irrasional. Sekularisme menjadi paham yang melihat sebuah realitas secara parsial dan menafikan segala sesuatu yang tidak bisa diterima secara rasional dan logis.
Sekularisme berkembang dari aliran filsafat Yunani yang diawali oleh pemikiran salah satu filsuf Yunani, Aristoteles. Aristoteles mempunyai pemikiran bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta tidak lagi mempunyai peranan dan tanggung jawab dalam perputaran alam semeseta ini. Konsepsi Tuhan dalam pemikiran Aristoteles terpisah jauh dari realitas alam semesta sehingga memunculkan pandangan akan ketidak absolutan Tuhan. Pandangan ini akan menafikan realitas kekuasaan Tuhan dalam kehidupan alam semesta, khususnya manusia dan menyebabkan lahirnya pandangan pemisahan antara kekuasaan Tuhan dan kehidupan manusia.
Sekularisme juga dapat dilihat dari berkembangnya aliran pemikiran rasionalisme yang menafikan sesuatu yang diluar pemahaman akal. Dalam pandangan rasionalisme, segala sesuatu yang diluar pemahaman akal manusia dinyatakan bukan sebagai sesuatu realitas dan diyakini ketiadaannya. Pandangan ini menilai sesuatu yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat dicerna melalui indera manusia yaitu dapat dilihat, didengar, diraba, dibaui, dan dirasakan. Apabila dalam proses penginderaan sesuatu tidak dapat ditangkap realitasnya maka konsepsi akan hal tersebut adalah tidak nyata atau tiada. Beranjak dari pemahaman di atas maka pandangan hidup yang terbentuk dalam peradaban Yunani Kuno adalah pandangan hidup yang materialistik yang melihat bahwa realitas dunia adalah materi dan menolak immateri dalam konteks pemahaman oleh akal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditelusuri jejaknya dari peradaban besar yang terus hadir dalam peredaran dunia ini dengan silih berganti. Peradaban Yunani-Romawi, Peradaban Islam dan masa Renaissance. Penulis berpendapat salah satu faktor dalam perkembangan peradaban tersebut adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai trigger utama. Peradaban Yunani-Rumawi sebagai salah satu bangsa pionir dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentu mempunyai andil dalam menyebarkan pemahaman yang materialistik dan rasionalistik.
Perkembangan peradaban Islam juga disinyalir mendapatkan pengaruh dari filsafat dan pemikiran Yunani-Romawi yang diterjemahkan oleh cendekiawan muslim ke dalam bahasa Arab. Tokoh utama dalam penerjemahan tersebut adalah Ibnu Rusyd atau di Barat disebut Averroes. Ibnu Rusyd menerjemahkan karya Plato dan Aristoteles, dan setelahnya dunia Islam melakukan aktivitas dalam dunia intelektual dengan kecepatan yang mengagumkan.
Dan adanya hubungan antara peradaban Islam dengan masa Renaissance di Barat juga diawali oleh adanya interaksi antara dunia Islam dengan dunia Barat. Diawali oleh perang Salib, interaksi sosial-budaya dan terjadinya transfer ilmu pengetahuan melalui penerjemahan karya-karya intelektual muslim oleh orang-orang Eropa, salah satu tokohnya adalah Edward dari Cremona. Kemudian muncullah budaya intelektual di Eropa abad pertengahan dengan Italia sebagai pusatnya. Tetapi ada satu hal yang berbeda dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa masuknya filsafat ke dalam peradaban Islam. Intelektual muslim mencoba merespon masuknya filsafat dengan melakukan proses penyaringan,penyeleksian dan pemilihan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
A. Latar Belakang
Ada suatu ungkapan yang sangat populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah kepada Allah". Berdasar ungkapan inilah, menurut sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) dapat dipahami hanya jika diketahui dengan baik kondisi historis ketika itu. Pada saat ungkapan itu dikemukakan oleh Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, satu-satunya cara seorang tokoh agama adalah berkiprah pada tataran spiritual keagamaan dan tidak pada politik. Jadi ungkapan dalam Injil tersebut sesungguhnya bertujuan mengendalikan kekuasaan spiritual.
Ada suatu ungkapan yang sangat populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah kepada Allah". Berdasar ungkapan inilah, menurut sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) dapat dipahami hanya jika diketahui dengan baik kondisi historis ketika itu. Pada saat ungkapan itu dikemukakan oleh Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, satu-satunya cara seorang tokoh agama adalah berkiprah pada tataran spiritual keagamaan dan tidak pada politik. Jadi ungkapan dalam Injil tersebut sesungguhnya bertujuan mengendalikan kekuasaan spiritual.
Kenyataan yang
terjadi di dunia Barat khususnya dalam hal pemisahan ilmu pengetahuan dari
doktrin gereja menyebabkan ilmu pengetahuan berdiri sendiri tanpa kontrol agama
dan nilai-nilai spiritual. Hal tersebut terus berlanjut hingga abad modern kini.
Mellenium III
merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang yang
disebut abad modern. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan yng secara teoritis telah ada sebelum abad modern demikian pula
penemuan-penemuan baru (discovery)
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi canggih bermunculan dari waktu ke
waktu.
Penemuan-penemuan
tersebut sangat bermanfaat bagi umat manusia sebagai kontribusi dalam upaya
memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yang menjadi sentral pembahasan khususnya
bagi pemikir-pemikir Islam adalah Islamisasi ilmu pengetahuan.
Sains dan
filsafat sudah dikenal sejak awal perkembangan Islam yang memungkinkan arus
intelektual di kalangan orang-orang Islam untuk menanggapi pemikir Yunani.
Akibat rangsangan itu ternyata mereka lebih kreatif, sehingga mendorong perkembangan di Eropa. Namun dalam
perkembangannya sains dan filsafat mengalami kemunduran di tangan umat Islam.
Sekularisasi dan
Islamisasi ilmu pengetahuan masih dalam suasana polemik para ahli. Hal ini
disebabkan satu sisi ingin memproduksi ilmu pengetahuan yang obyektif dengan
pendekatan santifik sementara di sisi lain kecenderungan ilmuwan muslim agar
ilmu pengetahuan lahir dari Islam berdasarkan al-Qur'an dan Hadits, dengan
pendekatan teologi normatif (keagamaan).
B. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Secara ontologis, sekularisasi ilmu pengetahuan berarti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang berbau mitos dan bernuangsa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Secara ontologis, sekularisasi ilmu pengetahuan berarti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang berbau mitos dan bernuangsa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Sekularisme
ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud. Karena alam
adalah benda mati yang netral. Tujuannya sangat ditentukan oleh manusia.
Pandangan ini menyebabkan manusia dengan segala daya yang dimiliki
mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.
Sebuah disiplin
ilmu juga hendak dipertahankan keobjektifan tujuan maka segala yang terkait
dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif dihindari
guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yang independen, otonom dan
objektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yang digunakan yakni rasionalisme
dan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris
(pengalaman). Sebagai konsekuensi dari epistemologi sekuler maka pada tataran
aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value
free of sciences) atau ilmu netral nilai.
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با
طلا
Artinya:
"Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan
sia-sia"
Islamisasi ilmu
pengetahuan dalam tataran epistimologinya mengkaji ayat-ayat al-Qur'an karena
sebagian ayat al-Qur'an memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga
kebenaran pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan
metodologi keilmuan. Bahkan ayat yang pertama turun berkenaan dengan perintah
membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan
revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5).
Islamisasi ilmu
pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat dengan
nilai-nilai moral (moral value)
dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai melainkan dalam ilmu pengetahuan
itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran Islam yang mengkristal pada
akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana
terkemuka yang sangat memperhatikan masalah islamisasi ilmu pengetahuan adalah
Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya
Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan yang sifatnya dualisme
(sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua
sistem ini harus digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang akan
muncul harus diwarnai dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral
dari idiologi.
Dengan demikian
islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna
mengcounter pengaruh-pengaruh
sekularisasi Barat yang bebas nilai.
D. Penutup
Sekularisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Barat yang ditandai dengan adanya pemisahan antara doktrin gereja yang selama ini menguasai ilmu pengetahuan lalu kemudian ilmu pegetahuan itu berdiri sendiri dan bebas dari keterikatan nilai atau norma-norma agama.
Sekularisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Barat yang ditandai dengan adanya pemisahan antara doktrin gereja yang selama ini menguasai ilmu pengetahuan lalu kemudian ilmu pegetahuan itu berdiri sendiri dan bebas dari keterikatan nilai atau norma-norma agama.
Islamisasi ilmu
pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh
dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu dan sekaligus
merupakan counter terhadap sains modern yang berkembang tanpa menghiraukan
nilai-nilai moral yang luhur (bebas nilai) ke arah suatu peradaban dan ilmu
pengetahuan yang sarat nilai berdasarkan ajaran Islam (al-Qur'an
dan Hadits Nabi SAW).
SEKULARISASI
ILMU PENGETAHUAN
Istilah
Sekularisasi berakar dari kata Sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum
artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau
berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular
berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual,
abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.
Sekularisasi
berasal dari dunia barat kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para
pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan
pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna
Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Pada saat ia datang
dengan membawa pemikiran menentang akal dan rasio dengan mempertahankan
kebekuannya melawan ilmu dan kebebasan, tampil dengan menghadapi kemajuan.
Sikap keras para aktifis gereja dalam menentang para ahli pikir (ilmuan) yang
menorehkan hasil penelitian ilmiyah dan nalarnya karena dinilai bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama. Hingga gereja memusuhi orang-orang yang
menyampaikan teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ajarannya, seperti
berpendapat bahwa bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran atau keluar dari
agama. Kepicikan berpikir gereja terhadap orang-orang yang mengemukakan teori
atau pandangan keilmuan yang bertentangan dengan ajarannya ternyata melahirkan
bentuk kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuan dan membakarnya, yang hidup pun
tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga para ahli pikir menuntut
dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan pemerintahan agar terindar
dari beragamnya penyiksaan tersebut. Dengan terlepasnya dari para ahli pikir
dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun
berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada
agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Sebagaimana ungkapan Isa
al Masih dalam Injil : sebagian untuk Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya
masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan
dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja
berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar
keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan dalam kitab tetap ditempatkan
sebagai kebutuhan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang
mengatakan manusia itu sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri
merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan menghendaki
supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang diciptaka-Nya, sehingga dapat
memperoleh pengetahuan.
Ilmu Itu Obyektif atau Tidak
Ilmu itu oyektif
atu subyektif tergantung dri segi mana kita memandanganya, satu ilmu dipandang
subyektif apabila subyek lebih aktif
berperan dalam segala hal dan kesadaran manusia menjadi tolak ukur
segalanya, sehingga maknanya tergantung
pada reaksi subyek yang melakukan
penelitian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat piskis atu fisis, atau dengan kata lain ilmu
dianggap subyektif apabila hanya memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki
akal budi manusia, seperti perasaan , intelektualitas, dan hasilnya akan mengarah pada suka tau tidak suka dari
seorang manusia. Ilmu dianggap objektif
jika ia tidak tergantung pada subyek aatu kesdaran yang menilai,adapun yang
menjadi tolak ukurnya ialah sutu gagasan
berada pada objeknya atau Sesuatu secara riil benar-benar ada dan tidak
tergantung pada individu melainkan pada fakta-fakta yang ada.
Ilmu itu bebas nilai atau tidak
Ilmu itu bebas
nilai karena dilihat dari dua aspek yaitu Etika teologis dan Ontologis
berdasarkan dua aspek ini ilmu dapat dikatakan bebas nilai kerena kegiatan
ilmiah dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang agama etnis ideology dan
bahasa, namun ada juga yang mengatakan ilmu itu tidak bebas nilai dengan
anggapan bahwa ilmu terikat oleh nilai-nilai seperti agama misalnya sehingga
membuat ilmu itu berada dalam lingkup baik buruk dari satu agama itu
Ilmu juga dalam
menetapkan menetapkan yang praktis harus tunduk pada nilai-nilai yang bersifat
universal yang sudah menjdi kebenaran jadi tak mungkin ilmu itu tidak bebas
nilai. Dalam hal ini ilmu harus menjdi nilai yang relevan dan nilai-nilai hidup
harus diaplikasikan oleh bagian-bagian praktis jika peraktiknya mengandung
tujuan yg rasional
Ilmu dalam kehidupan modern
Ilmu pengetahuan
dan teknologi telah mendorong semakin cepatnya arus modernisasi di segala
bidang sekarang ini yang membuat manusia mulai berhitung dan berusaha membagi
waktu secara akurat, efisien, cepat, tepat apa yang harus dilkukan. Dalam
kehidupan modern juga ilmu pengetahun mudah untuk diakses dan kita bebas
mengeksplor apa yang ada pada diri kita namun. Situasi dan kondisi yang serba
instan ini membuat manusia berada dalam kesadaran palsu karena satu sisi manusia menikmati kemajuan
pengetahuan yang berupa semkin majunya teknologi sehingga manusia memperoleh
kemudahan dalam berbagi hal namun di sisi lain manusia secara tidak langsung
telah dibodohi dan membuat manusia malas dalam berfikir
KERANGKA BERFIKIR ILMU-ILMU ALAM
Ilmu alam atau
ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun
ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan
umum, berlaku kapan pun dan dimana pun. Istilah ilmu alam juga digunakan
sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah dan juga dsebut sebagi ilmu pasti
Yang menjadi ruang lingkup pembahasan ilmu alam
adalah segala aspek-aspek fisik dan non manusia tentang bumi dan alam
sekitarnya. Ilmu alam juga merupakan landasan bagi terciptanya ilmu-ilmu
seperti ilmu social, humaniora, teologi, seni dan sebagainya. Dan yang menjadi
sumber ilmu alam ialah: Alam semesta, Tata surya, Benda-benda langit,
Benda-benda bumi, Mahluk hidup, dan Mahluk mati. Selain itu, ada beberapa
kerangka berfikir ilmu-ilmu alam, diantaranya yaitu: Pengamatan berulang,
Menggunakan metode deduktif, Alam dan hukum-hukumya berlaku secara umum tidak
berubah meskipun untuk yang kecil-kecil (ilmu pasti), Sebagian merupakan bagian
dari keseluruhan hukum untuk tetap berlaku, dan Perkembagan intelektual menjadi
sebab perubahan social
Dalam penelitian
ilmu alam, metode yang dipakai dalam penelitian ini biasanya menggunakan metode
deduktif yaitu dengan cara observasi, eksprimen, laboratorium, explorasi dan
yang tak kalah penting adalah penafsiran
terhadap terhadap alam dan juga biasanya
menggunakan data kuantitaif.
Selanjutnya yang menjadi
karakteristik ilmu alam yaitu: Sistematis, Logis, Empiris, Reduktif (memilih
satu permasalahan ), Replicable (dapat diulangi oleh orang lain utuk mengecek
kebenaran), dan Trausitable (mampu memecahkan berbagai permaslahan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar